HUKUM KONTRAK DAN PERJANJIAN
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Aspek Hukum Dalam Bisnis
Dosen Pengampu: Achmad Nur Qodin, S. HI., MHI.
Disusun oleh:
Nor Achmad Faris (212444)
Noor fitriyani (212445)
Norma Firdaus Suryo Anggoro (212456)
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN MANAJEMEN BISNIS SYARIAH
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah kontrak atau
perjanjian terkadang masih dipahami secara rancu. Subekti[1]
menganggap istilah kontrak mempunyai pengertian lebih sempit daripada
perjanjian, karena kontrak ditujukan kepada perjanjian yang tertulis. Sedangkan
Pothier membedakan contract dan convention. Disebut convention
yaitu perjanjian antara dua orang atau lebih untuk menciptakan,
menghapuskan atau merubah
perikatan. Adapun Contract adalah perjanjian yang mengharapkan
terlaksananya perikatan.[2]
Perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu “suatu perbuatan yang mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Disamping perjanjian, kita mengenal pula istilah kontrak. Baik
perjanjian maupun kontrak mengandung pengertian yang sama, yaitu suatu
perbuatan hukum untuk saling mengikatkan para pihak ke dalam suatu hubungan
hukum perikatan. Istilah kontrak lebih sering digunakan dalam praktik
bisnis. Karena jarang sekali orang menjalankan bisnis mereka secara
asal-asalan, maka kontrak-kontrak bisnis biasanya dibuat secara tertulis,
sehingga kontrak dapat juga disebut sebagai perjanjian yang dibuat secara
tertulis
B. Rumusan Masalah
1.
Jelaskan konsep
dasar tentang kontrak !
2.
Jelaskan
macam-macam perjanjian !
3.
Bagaimana
ketentuan umum dalam hukum kontrak ?
4.
Bagaimana pola
penyelesaian sengketa di bidang kontrak ?
5.
Bagaimana cara
berakhirnya kontrak ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Kontrak
1. Pengertian Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian
adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau
lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.[3]
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah persetujuan
yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing
sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, Suatu persetujuan
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat dilihat
beberapa unsur-unsur yang tercantum dalam kontrak, yaitu :
a. Adanya
hubungan hukum.
Hubungan hukum merupakan hubungan
yang menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
b. Adanya
subjek hukum.
Subjek hukum yaitu pendukung hak
dan kewajiban. Sebagaimana
diketahui bahwa Hukum Perdata mengkualifikasikan subjek hukum terdiri dari dua
bagian yaitu manusia dan badan hukum.
c. Adanya
prestasi.
Prestasi menurut Pasal 1234 KUH
Perdata terdiri atas untuk memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, dan untuk tidak
berbuat sesuatu.
d. Di
bidang harta kekayaan.
Pada umumnya kesepakatan yang telah
dicapai antara dua atau lebih pelaku bisnis dituangkan dalam suatu bentuk tertulis
dan kemudian ditanda tangani oleh para pihak. Dokumen tersebut disebut sebagai “Kontrak
Bisnis” atau “Kontrak Dagang”.
2.
Syarat
Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal
1320 KUH Perdata yang mengemukakan empat syarat,yaitu :
a. Adanya
kesepakatan kedua belah pihak
b. Kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum
c. Adanya
suatu hal tertentu.
d. Adanya
sebab yang halal.
3.
Saat Lahirnya Perjanjian
Menetapkan kapan saat lahirnya
perjanjian mempunyai arti penting bagi :
a. Kesempatan penarikan kembali penawaran.
b. Penentuan risiko.
c. Saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa.
d. Menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1320 jo 1338 ayat (1) KUH Perdata
dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud adalah bahwa perjanjian atau kontrak
lahir pada saat terjadinya consensus (sepakat) dari para pihak pembuat
kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan.
Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata
bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud consensus (sepakat) adalah
pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam
kontrak. Seorang dikatakan memberikan persetujuannya, jika ia memang
menghendaki apa yang disepakati. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan
akseptasi (acceptatie).
Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan
kehendak dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang melahirkan
kontrak atau perjanjian.
Salah satu
teori yang digunakan untuk menentukan saat lahirnya perjanjian yakni : Teori
Pernyataan (Uitings Theorie). Menurut teori ini perjanjian telah ada
atau lahir saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan.
Dengan kata lain perjanjian itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan.
4.
Asas Hukum
Kontrak
a. Asas Konsensualisme
Berdasarkan Pasal 1320 ayat
(1) KUH Perdata, dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah
kesepakatan kedua belah pihak. Artinya bahwa perikatan pada umumnya tidak
diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak.
b. Asas Pacta Sunt
Servada
Asas pacta sunt
servada, berhubungan dengan akibat dari perjanjian. Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata menyebutkan :
“Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.
c. Asas Kebebasan
Berkontrak
Kebebasan berkontrak (Freedom
of making contract), adalah salah satu asas yang sangat penting di dalam
hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran
hak asasi manusia. Menurut Salim H.S,
bahwa asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :
1) Membuat atau tidak
membuat perjanjian;
2) Mengadakan perjanjian
dengan siapapun,
3) Menentuan isi
perjanjian, pelaksaan, dan persyaratannya
4) Menentukan bentuknya
perjanjian, yaitu tertulis dan lisan.
Di samping itu, beberapa asas lain dalam standar
kontrak :
1) Asas Kepercayaan
2) Asas Persamaan Hukum
3) Asas Keseimbangan
4) Asas Kepastian Hukum
5) Asas Moral
6) Asas Kepatutan
7) Asas Kebiasaan
8) Asas Perlindungan[4]
B. Macam – Macam Perjanjian
Di dalam pasal 1319 KUH Perdata, perjanjian dibedakan
menjadi dua macam yaitu perjanjian bernama (nominaat) dan tidak bernama
(innominaat).
1.
Kontrak Nominaat, adalah kontrak atau perjanjian yang
sudah dikenal dalam KUH Perdata.
Beberapa jenis kontrak nominaat yakni:
a.
Pasal 1457 KUH Perdata
“Jual beli adalah
suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang
dijanjikan.”
b.
Pasal 1541 KUH Perdata
“Tukar menukar ialah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan
diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti
suatu barang lain.”
c.
Pasal 1548 KUH Perdata
“Sewa
menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri
untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu
tertentu, dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak tersebut
terakhir itu. Orang dapat menyewakan pelbagai jenis barang, baik yang tetap
maupun yang bergerak.”
d.
Pasal 1601 KUH Perdata
“Selain
persetujuan untuk menyelenggarakan beberapa jasa yang diatur oleh
ketentuanketentuan khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan,
dan bila ketentuanketentuan yang syarat-syarat ini tidak ada, persetujuan yang
diatur menurut kebiasaan, ada dua macam persetujuan, dengan mana pihak kesatu
mengikatkan diri untuk mengerjakan suatu pekerjaan bagi pihak lain dengan
menerima upah, yakni: perjanjian kerja dan perjanjian pemborongan kerja.
e.
Pasal 1618 KUH Perdata
“Persekutuan adalah suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih
mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu dalam persekutuan, dengan maksud
untuk membagi keuntungan yang terjadi karenanya”
f.
Pasal 1653 KUH Perdata
“Selain
persekutuan perdata sejati, perhimpunan orang-orang sebagai badan hukum juga
diakui undang-undang, entah badan hukum itu diadakan oleh kekuasaan umum atau
diakuinya sebagai demikian, entah pula badan hukum itu diterima sebagai yang
diperkenankan atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak
bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan”
g.
Pasal 1666 KUH Perdata
“Penghibahan
adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang
secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang
yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui
penghibahanpenghibahan antara orang-orang yang masih hidup.”
h.
Pasal 1694 KUH Perdata
“Penitipan
adalah terjadi apabila seseorang menerima sesuatu barang dari orang lain dengan
syarat bahwa ia akan menyimpannya dan mengembalikannya dalam ujud asalnya”
i.
Pasal 1740 KUH Perdata
“Pinjam
pakai adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang satu menyerahkan suatu
barang untuk dipakai dengan cuma-cuma kepada pihak lain, dengan syarat bahwa
pihak yang menerima barang itu setelah memakainya atau setelah lewat waktu yang
ditentukan, akan mengembalikan barang itu.”
j.
Pasal 1754 KUH Perdata
“Pinjam
meminjam adalah suatu perjanjian, yang menentukan pihak pertama
menyerahkansejumlah barang yang dapat habis terpakai kepada pihak kedua dengan
syarat bahwa pihak kedua itu akan mengembalikan barang sejenis kepada pihak
pertama dalam jumlah dan keadaan yang sama.”
k.
Pasal 1770 KUH Perdata
“Perjanjian
bunga abadi ialah suatu persetujuan bahwa pihak yang memberikan pinjaman uang
akan menerima pembayaran bunga atas sejumlah uang pokok yang tidak akan
dimintanya kembali.”
l.
Pasal 1774 KUH Perdata
“Suatu
persetujuan untung-untungan ialah suatu perbuatan yang hasilnya, yaitu
mengenaiuntung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak,
tergantung pada suatu kejadian yang belum pasti.
m.
Pasal 1792 KUH Perdata
“Pemberian
kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang
lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang
memberikan kuasa.”
n.
Pasal 1820 KUH Perdata
“Penanggungan
ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur,
mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak
memenuhi perikatannya.”
o.
Pasal 1851 KUH Perdata
“Perdamaian
adalah suatu persetujuan yang berisi bahwa dengan menyerahkan, menjanjikan atau
menahan suatu barang, kedua belah pihak mengakhiri suatu perkara yang sedang
diperiksa pengadilan ataupun mencegah timbulnya suatu perkara bila dibuat
secara tertulis.”
2.
Kontrak Innominaat,
adalah kontrak yang timbul, tumbuh dan hidup dalam masyarakat dan kontrak ini
belum dikenal pada saat KUH Perdata diundangkan. Hukum kontrak innominaat
(spesialis) merupakan bagian dari hukum kontrak (generalis). Beberapa jenis
kontrak innominaat :
a.
Perjanjian
sewa beli
b.
Perjanjian
sewa guna (leasing)
c.
Perjanjian
anjak piutang (factoring)
d.
Modal
ventura (joint venture)
C. Ketentuan Umum Dalam Hukum Kontrak
1. Somasi
Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal
1243 KUH Perdata. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si
berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian
yang telah disepakati antara keduanya. Somasi timbul disebabkan debitur tidak
memenuhi prestasinya, sesuai dengan yang diperjanjikan. Ada tiga cara
terjadinya somasi itu, yaitu :
a. Debitur melaksanakan prestasi yang
keliru, misalnya kreditur menerima sekeranjang jambu seharusnya sekeranjang
apel;
b. Debitur
tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan. Tidak memenuhi
prestasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelambatan melaksanakan
prestasi dan sama sekali tidak memberikan prestasi. Penyebab tidak melaksanakan
prestasi sama sekali karena prestasi tidak mungkin dilaksanakan atau karena
debitur terang-terangan menolak memberikan prestasi.
c. Prestasi yang dilaksanakan oleh debitur
tidak lagi berguna bagi kreditur setelah lewat waktu yang diperjanjikan.
2. Wanprestasi
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai
melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat
antara kreditur dengan debitur. Seorang debitur baru
dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur
atau Juru Sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh
kreditur atau Juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur
berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan
memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.
Akibat dari wanprestasi itu biasanya dapat dikenakan
sanksi berupa ganti rugi, pembatalan kontrak, peralihan risiko, maupun membayar
biaya perkara.
3. Ganti Rugi
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu
a. Ganti rugi karena wanprestasi.
Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk
ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian
yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur. Ganti rugi karena wanprestasi
ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang dimulai dari Pasal 124 KUH Perdata
s.d. Pasal 1252 KUH Perdata.
b. Perbuatan melawan hukum.
Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah
suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan
kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya
kesalahan, bukan karena adanya perjanjian. Ganti rugi karena perbuatan melawan
hukum ini diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditur
kepada debitur adalah sebagai berikut:
1) Kerugian yang telah dideritanya, yaitu
berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian.
2)
Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246
KUH Perdata), ini ditujukan kepada bunga-bunga.
Yang diartikan sebagai biaya-biaya (ongkos-ongkos),
yaitu ongkos yang telah dikeluarkan oleh kreditur untuk mengurus objek
perjanjian. Sedangkan bunga-bunga adalah
keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditur.
4. Keadaan Memaksa
Ketentuan tentang keadaaan memaksa dapat dilihat dan
di baca dalam pasal 1244 KUH Perdata yang berbunyi: “Debitur harus dihukum
untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa
tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam
melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tidak terduga, yang
tak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, walaupun tidak ada itikad buruk
padanya. “ dan pasal 1245 KUH
Perdata berbunyi: “Tidak ada penggantian biaya,kerugian, dan bunga, bila
karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur
terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan
sesuatu perbuatan yang terhalang olehnya.”
Ada tiga hal yang menyebabkan debitur tidak melakukan penggantian biaya,
kerugian dan bunga, yaitu:
a. Adanya suatu hal yang tak terduga
sebelumnya, atau
b. Terjadinya secara kebetulan, dan atau
c. Keadaan memaksa.
Yang diartikan dengan keadaan memaksa adalah suatu
keadaan di mana debitur tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditur, yang
disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya. Misalnya karena
adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain.
5. Risiko
Ajaran tentang risiko yiatu seseorang berkewajiban
untuk memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu
pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini dapat
diterapkan pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
Pengaturan Risiko dalam KUH
Perdata
a.
Menurut Pasal
1237 KUH Perdata, dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan
tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan
si berpiutang.
b.
Menurut Pasal
1460 KUH Perdata, jika kebendaan yang dipikul itu berupa suatu barang yang
sudah ditentukan, maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan
si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan, dan si penjual berhak
menuntut harganya. Pasal ini mengatur mengenai risiko dalam perjanjian
jual-beli.
c.
Menurut Pasal
1545 KUH Perdata, jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk
ditukar, musnah di luar salah pemiliknya, maka perjanjian dianggap sebagai
gugur, dan siapa yang dari pihaknya telah memnuhi perjanjian, dapat menuntut
kembali barang yang ia telah diberikan dalam tukar-menukar. Pasal ini mengatur
mengenai risiko dalam perjanjian tukar-menukar.
d.
Menurut Pasal
1553 ayat (1) KUH Perdata, jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama
sekali musnah karena suatu kejadian yang tak disengaja, maka perjanjian sewa
gugur demi hukum. Pasal ini mengatur mengenai risko dalam risiko perjanjian
sewa-menyewa.
D. Pola Penyelesaian Sengketa Di Bidang
Kontrak
Alternative
Dispute Resolution (ADR) atau penyelesaian sengketa alternatif ini terdiri dari
:
1.
Negosiasi
adalah suatu proses berkomunikasi satu sama lain yang dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan kita ketika pihak lain menguasai yang kita inginkan
2.
Mediasi
adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa
memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independent untuk bertindak sebagai
mediator (penengah) dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan
keterampilan untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka
melalui perundingan. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat
keputusan yang mengikat, tetapi para pihaklah yang didorong untuk membuat
keputusan. Oleh karena itu bentuk penyelesaiannya adalah akta perdamaian antara
para pihak yang berselisih
3.
Konsiliasi
adalah suatu proses penyelesaian sengketa dimana para pihak yang bersengketa
memanfaatkan bantuan pihak ketiga yang independent untuk bertindak sebagai
konsiliator (penengah) dengan menggunakan berbagai prosedur, teknik, dan
keterampilan untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan sengketa mereka
melalui perundingan. Konsiliator mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan
yang bersifat anjuran. Oleh karena itu bentuk penyelesaiannya adalah putusan
yang bersifat anjuran
4.
Inquiry
(Angket) adalah Suatu proses penyelesaian sengketa dengan mengumpulkan
fakta-fakta yang merupakan penyebab sengkta, keadaan waktu sengketa, dan jenis
sengketa yang terjadi untuk mencapai versi tunggal atas sengketa yang terjadi.
Angket ini dilakukan oleh komisi angket yang independent yang anggotanya
diangkat oleh para pihak yang bersengketa. Keputusan bersifat rekomendasi yang
tidak mengikat para pihak
5.
Arbitrase
adalah suatu proses penyelesaian perselisihan yang merupakan bentuk tindakan
hukum yang diakui oleh UU dimana salah satu pihak atau lebih menyerahkan
sengketanya dengan satu pihak lain atau lebih kepada satu orang arbitrer atau
lebih dalam bentuk majelis arbitrer ahli yang professional yang akan bertindak
sebagai hakim/peradilan swasta yang akan menerapkan tata cara hukum negara yang
berlaku atau menerapkan tata cara hukum perdamaian yang telah disepakati
bersama oleh para pihak terdahulu untuk sampai pada putusan yang terakhir dan
mengikat
Ada pula dua
bentuk alternatif penyelesaian lainnya yang mirip dengan arbitrase, yaitu :
1.
Mini-Trial.
Bentuk ini dalam Bahasa Indonesia dapat disebut pula dengan “peradilan mini”
yang berguna bagi perusahaan yang bersangkutan dalam sengketa-sengketa besar.
2.
Med-Arb. Bentuk
ini merupakan kombinasi antara bentuk mediasi dan arbitrase. Di sini seorang
yang netral diberi wewenang untuk mengadakan mediasi. Namun demikian, dia tidak
mempunyai wewenang untuk memutus setiap isu yang tidak dapat diselesaikan oleh
para pihak.
E. Berakhirnya Kontrak
Di samping memahami aspek teoritis asas-asas dan syarat sahnya suatu
perjanjian, maka yang harus diketahui adalah aspek yang dapat mengakhiri suatu
perjanjian. Pasal 1381 KUH Perdata menjelaskan beberapa alasan yang dapat
mengakhiri suatu perjanjian, yakni:
1.
Pembayaran.
2.
Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan.
3.
Pembaharuan utang
4.
Perjumpaan utang atau kompensasi
5.
Percampuran utang
6.
Pembebasan utang
7.
Musnahnya barang yang terutang
8.
Kebatalan atau pembatalan
9.
Berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam Bab I KUH Perdata
10.
Lewatnya waktu
DAFTAR PUATAKA
Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta : Balai
Pustaka. 2005.
Salim MS, Hukum Kontrak,
Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, Jakarta Sinar Grafika, 2006.
Soetojo Prawirohamidjojo dan
Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, Surabaya: Bina Ilmu, 1978.
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XVI, Jakarta: Intermasa, 1996.
[1]
Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XVI, Jakarta: Intermasa, 1996, hlm. 1.
[2] Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum
Perikatan, Surabaya: Bina Ilmu, 1978, hlm. 84.
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar
Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta : Balai Pustaka. 2005. Hlm. 458.
[4] Salim MS, Hukum
Kontrak, Teori & Tekriik Penyusunan Kontrak, Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Hlm 9
No comments:
Post a Comment