MAKALAH
HUBUNGAN
TASAWUF DAN FIQH (SYARIAT)
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. H. Yasin, M.Ag
![]() |
Disusun oleh:
Naim Mutohar (212443)
Nor
Achmad Faris (212444)
Nor
Fitriani (212445)
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN
SYARI’AH / MBS
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai upaya dilakukan manusia untuk berkomunikasi
dengan Tuhan. Mereka mencari jalan yang dapat membawa mereka lebih dekat dengan
Tuhan sehingga mereka merasa melihat Tuhan dengan hatinya. Ajaran-ajaran
seperti ini terdapat dalam tasawuf.
Meskipun secara tekstual tidak terdapat ketentuan
untuk melaksanakan tasawuf, namun hal ini telah dilakukan Rasulullah. dengan
pergi ke Gua Hira untuk mengasingkan diri dari kehidupan kota Makkah yang
hanyut oleh penyembahan-penyembahan terhadap berhala dan merenung mencari
hakikat kebenaran disertai beribadah dan berpuasa sehingga jiwa beliau semakin
suci.
Amalan tersebut mewarnai kehidupan para sahabat.
Mereka meneladani kehidupan Rasulullah.
dan membaktikan hidupnya untuk kepentingan agama. Diantara mereka ada yang
tekun beribadah dan hidup zuhd. Mereka dikenal dengan Ahl al-shuffah. Yang
kemudian disebut sebagai cikal bakal munculnya kaum sufi.
Pada
dasarnya tasawuf bersifat batin sedangkan yang bersifat lahir adalah syari’at.
Syari’at merupakan ajaran Islam yang tersimpul dalam ibadah yang berbentuk
shalat, puasa, zakat, haji dan ajaran-ajaran mengenai akhlak Islam. Aspek lahir
(syari’at) dan aspek batin (tasawuf) memiliki keterkaitan yang sangat erat,
sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang masuk ke dalam aspek tasawuf ?
2. Bagaimana hubungan antara syari’ah dan tasawuf ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Tasawuf
1. Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari Bahasa Arab
yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[1]
Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus
ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.[2]
Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang
berarti tangga. Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus
ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi
tidak sama pendapatnya.
Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi dalam kitab al-Luma’
menyebutkan maqamat, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhd, al-faqr,
al-tawakkal dan al-ridha.[3]
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din
mengatakan bahwa maqamat, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhd,
al-tawakkal, al-mahabbah, al-makrifah dan al-ridha.[4]
Meskipun
para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang susunan dan jumlah maqamat,
namun secara umum maqamat itu meliputi: al-taubat, al-zuhd, al-wara’,
al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha. Mengenai tahapan maqamat
ini secara singkat digambarkan sebagai berikut:
a.
Maqam
taubat, disini seorang calon sufi harus
bertaubat baik dari dosa besar maupun dosa kecil.
b.
Maqam
Zuhd, yakni mengasingkan diri dari dunia ramai.
c.
Maqam
wara’, yakni meninggalkan hal-hal yang
syubhat.
d.
Maqam
faqr, yakni hidup sebagai orang fakir.
e.
Maqam
shabr, yakni harus sabar menghadapi
cobaan yang datang menimpanya.
f.
Makam
tawakkul, yakni menyerahkan sebulat-bulatnya
kepada keputusan Allah
g.
Maqam
ridha, yakni ia merasa telah dekat dengan
Allah, sehingga ia tidak meminta sesuatu apapun kecuali ridha-Nya.
Seorang
calon sufi yang telah mampu menempuh maqamat tersebut dengan
sebaik-baiknya, maka hatinya menjadi suci dan bersih dari perbuatan dosa dan
maksiat. Hatinya tidak lagi tergoda dengan kehidupan materi, melainkan ia hanya
menuju ke hadirat Allah semata. Dengan kesucian hati inilah dapat mendekatkan
diri kepada Allah. Karena Allah Yang Maha Suci tidak dapat di dekati kecuali
oleh hamba-Nya yang suci.
Setelah hati seorang sufi menjadi suci, maka hilanglah rasa benci
kepada apa dan siapa pun, baik benci kepada Allah maupun kepada makhluk-Nya.
Yang tinggal di dalam hatinya hanyalah rasa cinta kepada Allah (Mahabbat).
Seorang sufi yang telah memiliki cinta kasih sejati kepada Allah, maka semakin
dekat denganNya. Sehingga tak mengherankan jika ia menghabiskan seluruh
waktunya untuk melakukan dzikir, tafakkur dan banyak beribadah kepadaNya, maka
ia pun diberi anugerah oleh Allah, yakni dibukakan tabir pemisah antara dirinya
dan Allah, sehingga mata hatinya dapat menyaksikan rahasia-rahasia Allah. Sampai
di sini berarti seorang sufi telah mencapai tingkat ma’rifat. Hal ini
sejalan dengan ungkapan Imam al-Ghazali bahwa ma’rifat adalah melihat
atau mengetahui rahasia-rahasia Allah (Al-Nazharu ila asrari al-umur
al-ilahiyat).
2. Ahwal
Menurut Harun Nasution, ahwal merupakan keadaan
mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya.
Ahwal yang biasa disebut adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-Tawadhu),
patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-Uns),
gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr).
Ahwal berlainan dengan maqam. Maqam
diperoleh atas usaha manusia, ahwal diperoleh sebagai anugrah dan rahmat
dari Tuhan. Selain itu, ahwal bersifat sementara, datang dan pergi bagi
seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[5]
Oleh karena
itu, jalan yang ditempuh seorang sufi untuk mencapai tujuan memperoleh hubungan
batin dan bersatu secara rohani dengan Tuhan bukanlah jalan yang mudah. Jalan
itu sulit, dan untuk pindah dari satu stasiun ke stasiun lain menghendaki usaha
yang berat dan waktu yang tidak singkat.
B.
Hubungan Syari’ah Dan Tasawuf
Tasawuf dalam arti sikap hati rohani yang
takwa yang selalu ingin dekat kepada Allah, dihubungkan dengan arti syariat
dalam arti luas yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia baik hablum
minallah, hablum minannas dan hablum minal' alam, mempunyai hubungan
yang erat dan saling mengisi antara satu dengan yang lain.
Untuk mencapai tujuan tasawuf dalam artian ini, tidak
mungkin hanya dengan melaksanakan zikir atau zikrullah dalam artian khusus
saja, tapi harus dilaksanakan sejalan, simultan dengan melaksanakan syariat
yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu seluruh
aktivitas syariat harus digerakkan, didasarkan, dimotivasikan dan dijiwai oleh
hati nurani yang ikhlas lillahi ta'ala yang bermuara mendapatkan ridha Allah
dan berdampak memperoleh maslahah umat yang menjadi tujuan syariat. Manakala
maslahah umat telah diperoleh, harus digerakkan dan diarahkan pula kepada
memperkokoh dan mentahqikkan tauhid makrifatullah yang merupakan satu-satunya
tujuan Allah menjadikan makhluk manusia.[6]
Menurut sebagian ulama, syari’at dan tasawuf merupakan
dua ilmu yang saling berhubungan erat, karena keduanya merupakan perwujudan
kesadaran iman yang mendalam. Syari’at mencerminkan perwujudan pengamalan iman
pada aspek lahiriyah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman
pada aspek batiniah.
Ungkapan di atas senada dengan pendapat-pendapat ulama
lain, sebagai berikut:
Ibnu ‘'Ujaibat dalam kitabnya Iqazh al-Himam fi
Syarh al-Hikam menyebutkan: Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh, karena
hukum-hukum Allah yang zhahir tidak dapat diketahui kecuali dengan fiqh, dan
tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena tiada amal yang diterima kecuali
disertai dengan tawajjuh (menghadap Allah) yang sebenar-benarnya, dan
keduanya (tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman.
Imam Malik menegaskan: Siapa saja yang bertasawuf
tanpa mempelajari fiqh sungguh ia berlaku zindik, dan siapa saja yang berfiqh
tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasiq, dan siapa saja yang mengamalkan keduanya,
maka sesungguhnya dia adalah golongan Islam yang hakiki.
Muhammad ibnu ‘Allan dalam kitab Dalil al Falihin
menyebutkan Siapa saja menghiasi lahiriyahnya dengan syari’at dan mencuci
kotoran bathiniahnya dengan air thariqat, maka ia dapat mencapa haqiqat.
Menurut al-Qusyairi: Setiap pengalaman syari’ah yang
tidak didukung dengan pengamalan hakikat, maka tidak dapat diterima dan setiap
pengamalan hakikat tidak didukung dengan pengamalan syari’at, maka tidak dapat
mencapai tujuan yang dikehendaki.
Al-Ghazali mengatakan: Tidak akan sampai ke tingkat
terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu hakikat) kecuali setelah
menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu
syari’at). Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan: Tidak bisa menembus ke dalam
batinnya (tujuan ibadah) kecuali setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan
rukun ibadah).
Memperhatikan pendapat-pendapat di atas, terlihat secara jelas bahwa
antara syariat dan tasawuf terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak
boleh dipidahkan.
Di sini timbul pertanyaan: Mengapa para ulama
memadukan antara syari’at dan tasawuf ? Padahal antara keduanya terdapat
perbedaan yang tajam, sebagaimana dikatakan Ahmad Amin, bahwa Fuqaha sebagai
ahli syari’at sangat mengutamakan amal-amal lahiriyah, sedangkan kaum sufi
sebagai ahli haqiqat sangat mengutamakan amal-amal bathiniah.
Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu
lahir dan ilmu bathin, demikian menurut al-Thusi, oleh karena itu syari’at pada
mulanya juga mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin. Namun dalam perkembangan
selanjutnya syari’at yang mengandung kedua unsur baik ilmu lahir maupun ilmu
batin itu mengandung semacam spesialisasinya, sehingga syari’at lebih
menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu batin dikembang ilmu tasawuf atau
ilmu hakikat. Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini berkemungkinan
disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni syari’at
yang mengambil bentuk fiqh cenderung menggunakan rasio dan logika akal dalam
membahas dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan
tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an
dan al-Hadits.
Menurut keterangan al-Ghazali sejak abad ketiga
Hijriyyah ilmu-ilmu agama Islam: Ilmu kalam (tauhid), ilmu fiqh dan ilmu
tasawuf masing-masing berdiri, akibat dari adanya upaya spesialisasi ilmiah
yang lebih rinci. Setiap disiplin ilmu kemudian menempuh jalannya masing-masing
dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri yang berakibat satu disiplin ilmu
dengan yang lainnya pun menjadi berbeda obyek, metode dan sasarannya. Yang
berkaitan dengan akidah tersebut ilmu Kalam (ilmu Tauhid), yang berkaitan
dengan tindakan lahiriyah disebut ilmu fiqh, dan yang berkaitan dengan psikis
disebut ilmu jiwa (ilmu tasawuf).
Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka
spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut di atas sangat
menguntungkan, akan tetapi jika dilihat dari segi masyarakat Islam sebagai
suatu umat, maka spesialisasi tersebut cukup meresahkan dan merisaukan umat
Islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya perselisihan,
perdebatan dan saling tuduh menuduh kafir (kafir mengkafirkan) atau saling
tuduh menuduh zindik (zindik menzindikan) di kalangan umat Islam sendiri.
Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah amal lahir atau amal
bathin, dan mana yang lebih utama, apakah amal lahir atau amal batin.[7]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Aspek tasawuf adalah maqam dan ahwal.maqam
adalah jalan panjang yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan
Allah. Sedangkan ahwal adalah keadaan mental, seperti perasaan
senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya
Syari’at
adalah ketentuan yang ditetapkan Allah kepada hambanya mengenai perbuatan
lahiriah, seperti ibadah dan mu’amalat.
Sedangkan
tasawuf ialah yang menyangkut dengan batiniah, seperti seperti akidah dan
akhlak.
Syari’at dan tasawuf adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan karena syari’at tanpa tasawuf itu tidak sempurna, begitupun
sebaliknya, tasawuf tanpa syar’at itu tidak dapat dibenarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, Hidakarya
Agung, 1990.
Harun Nasution,
Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1983, cet.III.
Imam
al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr,t.t.
http://ha-hambaallah.blogspot.com/2011/06/hubungan-syariah-dan-tasawuf.html di akses tanggal 12 Mei 2014
http://ngajiislam.blogspot.com/2008/07/tasawuf-dan-syariat.html di akses tanggal 12 Mei 2014
[2] Harun
Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1983, cet.III, hlm 62.
[3] Ibid.,
hlm. 62.
[4] Imam
al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr,t.t., hlm.
162-178.
[5] Harun
Nasution, op. Cit., hlm. 63.
[6] http://ngajiislam.blogspot.com/2008/07/tasawuf-dan-syariat.html
[7] http://ha-hambaallah.blogspot.com/2011/06/hubungan-syariah-dan-tasawuf.html
No comments:
Post a Comment