Halaman

Tuesday, March 12, 2019

Tasawuf: HUBUNGAN TASAWUF DAN FIQH (SYARIAT)


MAKALAH
HUBUNGAN TASAWUF DAN FIQH (SYARIAT)
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Tasawuf
Dosen Pengampu : Drs. H. Yasin, M.Ag


 






                                                                                                                                  




Disusun oleh:
Naim Mutohar                         (212443)
Nor Achmad Faris                   (212444)
Nor Fitriani                              (212445)



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH / MBS
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai upaya dilakukan manusia untuk berkomunikasi dengan Tuhan. Mereka mencari jalan yang dapat membawa mereka lebih dekat dengan Tuhan sehingga mereka merasa melihat Tuhan dengan hatinya. Ajaran-ajaran seperti ini terdapat dalam tasawuf.
Meskipun secara tekstual tidak terdapat ketentuan untuk melaksanakan tasawuf, namun hal ini telah dilakukan Rasulullah. dengan pergi ke Gua Hira untuk mengasingkan diri dari kehidupan kota Makkah yang hanyut oleh penyembahan-penyembahan terhadap berhala dan merenung mencari hakikat kebenaran disertai beribadah dan berpuasa sehingga jiwa beliau semakin suci.
Amalan tersebut mewarnai kehidupan para sahabat. Mereka meneladani  kehidupan Rasulullah. dan membaktikan hidupnya untuk kepentingan agama. Diantara mereka ada yang tekun beribadah dan hidup zuhd. Mereka dikenal dengan Ahl al-shuffah. Yang kemudian disebut sebagai cikal bakal munculnya kaum sufi.
Pada dasarnya tasawuf bersifat batin sedangkan yang bersifat lahir adalah syari’at. Syari’at merupakan ajaran Islam yang tersimpul dalam ibadah yang berbentuk shalat, puasa, zakat, haji dan ajaran-ajaran mengenai akhlak Islam. Aspek lahir (syari’at) dan aspek batin (tasawuf) memiliki keterkaitan yang sangat erat, sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang masuk ke dalam aspek tasawuf ?
2. Bagaimana hubungan antara syari’ah dan tasawuf ?







BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Tasawuf
1. Maqamat
Secara harfiah maqamat berasal dari Bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.[1] Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.[2] Dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga. Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya.
Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi dalam kitab al-Luma’ menyebutkan maqamat, yaitu al-taubah, al-wara’, al-zuhd, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridha.[3]
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulum al-Din mengatakan bahwa maqamat, yaitu al-taubah, al-shabr, al-zuhd, al-tawakkal, al-mahabbah, al-makrifah dan al-ridha.[4]
Meskipun para ulama tasawuf berbeda pendapat tentang susunan dan jumlah maqamat, namun secara umum maqamat itu meliputi: al-taubat, al-zuhd, al-wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakkul, dan al-ridha. Mengenai tahapan maqamat ini secara singkat digambarkan sebagai berikut:
a.    Maqam taubat, disini seorang calon sufi harus bertaubat baik dari dosa besar maupun dosa kecil.
b.    Maqam Zuhd, yakni mengasingkan diri dari dunia ramai.
c.    Maqam wara’, yakni meninggalkan hal-hal yang syubhat.
d.   Maqam faqr, yakni hidup sebagai orang fakir.
e.    Maqam shabr, yakni harus sabar menghadapi cobaan yang datang menimpanya.
f.     Makam tawakkul, yakni menyerahkan sebulat-bulatnya kepada keputusan Allah
g.    Maqam ridha, yakni ia merasa telah dekat dengan Allah, sehingga ia tidak meminta sesuatu apapun kecuali ridha-Nya.
Seorang calon sufi yang telah mampu menempuh maqamat tersebut dengan sebaik-baiknya, maka hatinya menjadi suci dan bersih dari perbuatan dosa dan maksiat. Hatinya tidak lagi tergoda dengan kehidupan materi, melainkan ia hanya menuju ke hadirat Allah semata. Dengan kesucian hati inilah dapat mendekatkan diri kepada Allah. Karena Allah Yang Maha Suci tidak dapat di dekati kecuali oleh hamba-Nya yang suci.
Setelah hati seorang sufi menjadi suci, maka hilanglah rasa benci kepada apa dan siapa pun, baik benci kepada Allah maupun kepada makhluk-Nya. Yang tinggal di dalam hatinya hanyalah rasa cinta kepada Allah (Mahabbat). Seorang sufi yang telah memiliki cinta kasih sejati kepada Allah, maka semakin dekat denganNya. Sehingga tak mengherankan jika ia menghabiskan seluruh waktunya untuk melakukan dzikir, tafakkur dan banyak beribadah kepadaNya, maka ia pun diberi anugerah oleh Allah, yakni dibukakan tabir pemisah antara dirinya dan Allah, sehingga mata hatinya dapat menyaksikan rahasia-rahasia Allah. Sampai di sini berarti seorang sufi telah mencapai tingkat ma’rifat. Hal ini sejalan dengan ungkapan Imam al-Ghazali bahwa ma’rifat adalah melihat atau mengetahui rahasia-rahasia Allah (Al-Nazharu ila asrari al-umur al-ilahiyat).
2. Ahwal
Menurut Harun Nasution, ahwal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Ahwal yang biasa disebut adalah takut (al-Khauf), rendah hati (al-Tawadhu), patuh (al-Taqwa), ikhlas (al-Ikhlas), rasa berteman (al-Uns), gembira hati (al-Wajd), berterima kasih (al-Syukr).
Ahwal berlainan dengan maqam. Maqam diperoleh atas usaha manusia, ahwal diperoleh sebagai anugrah dan rahmat dari Tuhan. Selain itu, ahwal bersifat sementara, datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan.[5]
Oleh karena itu, jalan yang ditempuh seorang sufi untuk mencapai tujuan memperoleh hubungan batin dan bersatu secara rohani dengan Tuhan bukanlah jalan yang mudah. Jalan itu sulit, dan untuk pindah dari satu stasiun ke stasiun lain menghendaki usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat.
B.  Hubungan Syari’ah Dan Tasawuf
            Tasawuf dalam arti sikap hati rohani yang takwa yang selalu ingin dekat kepada Allah, dihubungkan dengan arti syariat dalam arti luas yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia baik hablum minallah, hablum minannas dan hablum minal' alam, mempunyai hubungan yang erat dan saling mengisi antara satu dengan yang lain.
Untuk mencapai tujuan tasawuf dalam artian ini, tidak mungkin hanya dengan melaksanakan zikir atau zikrullah dalam artian khusus saja, tapi harus dilaksanakan sejalan, simultan dengan melaksanakan syariat yang meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu seluruh aktivitas syariat harus digerakkan, didasarkan, dimotivasikan dan dijiwai oleh hati nurani yang ikhlas lillahi ta'ala yang bermuara mendapatkan ridha Allah dan berdampak memperoleh maslahah umat yang menjadi tujuan syariat. Manakala maslahah umat telah diperoleh, harus digerakkan dan diarahkan pula kepada memperkokoh dan mentahqikkan tauhid makrifatullah yang merupakan satu-satunya tujuan Allah menjadikan makhluk manusia.[6]
Menurut sebagian ulama, syari’at dan tasawuf merupakan dua ilmu yang saling berhubungan erat, karena keduanya merupakan perwujudan kesadaran iman yang mendalam. Syari’at mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek lahiriyah, sedangkan tasawuf mencerminkan perwujudan pengamalan iman pada aspek batiniah.
Ungkapan di atas senada dengan pendapat-pendapat ulama lain, sebagai berikut:
Ibnu ‘'Ujaibat dalam kitabnya Iqazh al-Himam fi Syarh al-Hikam menyebutkan: Tiada tasawuf kecuali dengan fiqh, karena hukum-hukum Allah yang zhahir tidak dapat diketahui kecuali dengan fiqh, dan tiada fiqh kecuali dengan tasawuf, karena tiada amal yang diterima kecuali disertai dengan tawajjuh (menghadap Allah) yang sebenar-benarnya, dan keduanya (tasawuf dan fiqh) tidak sah kecuali disertai dengan iman.
Imam Malik menegaskan: Siapa saja yang bertasawuf tanpa mempelajari fiqh sungguh ia berlaku zindik, dan siapa saja yang berfiqh tanpa tasawuf, maka ia menjadi fasiq, dan siapa saja yang mengamalkan keduanya, maka sesungguhnya dia adalah golongan Islam yang hakiki.
Muhammad ibnu ‘Allan dalam kitab Dalil al Falihin menyebutkan Siapa saja menghiasi lahiriyahnya dengan syari’at dan mencuci kotoran bathiniahnya dengan air thariqat, maka ia dapat mencapa haqiqat.
Menurut al-Qusyairi: Setiap pengalaman syari’ah yang tidak didukung dengan pengamalan hakikat, maka tidak dapat diterima dan setiap pengamalan hakikat tidak didukung dengan pengamalan syari’at, maka tidak dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.
Al-Ghazali mengatakan: Tidak akan sampai ke tingkat terakhir (menghadap Allah dengan benar, yaitu hakikat) kecuali setelah menyempurnakan tingkat pertamanya (memperkokoh awal perjalanan ibadah, yaitu syari’at). Lebih lanjut al-Ghazali menegaskan: Tidak bisa menembus ke dalam batinnya (tujuan ibadah) kecuali setelah menyempurnakan lahirnya (syarat dan rukun ibadah).
Memperhatikan pendapat-pendapat di atas, terlihat secara jelas bahwa antara syariat dan tasawuf terdapat hubungan yang sangat erat, keduanya tidak boleh dipidahkan.
Di sini timbul pertanyaan: Mengapa para ulama memadukan antara syari’at dan tasawuf ? Padahal antara keduanya terdapat perbedaan yang tajam, sebagaimana dikatakan Ahmad Amin, bahwa Fuqaha sebagai ahli syari’at sangat mengutamakan amal-amal lahiriyah, sedangkan kaum sufi sebagai ahli haqiqat sangat mengutamakan amal-amal bathiniah.
Pada dasarnya al-Qur’an dan al-Hadits mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin, demikian menurut al-Thusi, oleh karena itu syari’at pada mulanya juga mengandung ilmu lahir dan ilmu bathin. Namun dalam perkembangan selanjutnya syari’at yang mengandung kedua unsur baik ilmu lahir maupun ilmu batin itu mengandung semacam spesialisasinya, sehingga syari’at lebih menekankan pada ilmu lahir, sedangkan ilmu batin dikembang ilmu tasawuf atau ilmu hakikat. Terjadinya perkembangan spesialisasi kedua ilmu ini berkemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan kecenderungan antara keduanya, yakni syari’at yang mengambil bentuk fiqh cenderung menggunakan rasio dan logika akal dalam membahas dalil al-Qur’an dan al-Hadits untuk membuat ketetapan hukum, sedangkan tasawuf cenderung menggunakan rasa (dzauq) dalam mengamalkan al-Qur’an dan al-Hadits.
Menurut keterangan al-Ghazali sejak abad ketiga Hijriyyah ilmu-ilmu agama Islam: Ilmu kalam (tauhid), ilmu fiqh dan ilmu tasawuf masing-masing berdiri, akibat dari adanya upaya spesialisasi ilmiah yang lebih rinci. Setiap disiplin ilmu kemudian menempuh jalannya masing-masing dengan prinsip dan metode sendiri-sendiri yang berakibat satu disiplin ilmu dengan yang lainnya pun menjadi berbeda obyek, metode dan sasarannya. Yang berkaitan dengan akidah tersebut ilmu Kalam (ilmu Tauhid), yang berkaitan dengan tindakan lahiriyah disebut ilmu fiqh, dan yang berkaitan dengan psikis disebut ilmu jiwa (ilmu tasawuf).
Jika dilihat dari segi pengembangan ilmu, maka spesialisasi ilmu-ilmu agama Islam sebagaimana tersebut di atas sangat menguntungkan, akan tetapi jika dilihat dari segi masyarakat Islam sebagai suatu umat, maka spesialisasi tersebut cukup meresahkan dan merisaukan umat Islam, karena hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya perselisihan, perdebatan dan saling tuduh menuduh kafir (kafir mengkafirkan) atau saling tuduh menuduh zindik (zindik menzindikan) di kalangan umat Islam sendiri. Mereka memperselisihkan tentang mana yang benar, apakah amal lahir atau amal bathin, dan mana yang lebih utama, apakah amal lahir atau amal batin.[7]




BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            Aspek tasawuf adalah maqam dan ahwal.maqam adalah jalan panjang yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Sedangkan ahwal adalah keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya
Syari’at adalah ketentuan yang ditetapkan Allah kepada hambanya mengenai perbuatan lahiriah, seperti ibadah dan mu’amalat.
Sedangkan tasawuf ialah yang menyangkut dengan batiniah, seperti seperti akidah dan akhlak.
Syari’at dan tasawuf adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan karena syari’at tanpa tasawuf itu tidak sempurna, begitupun sebaliknya, tasawuf tanpa syar’at itu tidak dapat dibenarkan.

DAFTAR PUSTAKA
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, Hidakarya Agung, 1990.
 Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1983, cet.III.
 Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr,t.t.



[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta, Hidakarya Agung, 1990, hlm. 362.
[2] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1983, cet.III, hlm 62.
[3] Ibid., hlm. 62.
[4] Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr,t.t., hlm. 162-178.
[5] Harun Nasution, op. Cit., hlm. 63.
[6] http://ngajiislam.blogspot.com/2008/07/tasawuf-dan-syariat.html
[7] http://ha-hambaallah.blogspot.com/2011/06/hubungan-syariah-dan-tasawuf.html

No comments:

Post a Comment