Halaman

Tuesday, March 12, 2019

Ushul Fiqih: Macam-macam Lafadh Ditinjau Dari Jelas dan Tidaknya Makna


Macam-macam Lafadh Ditinjau Dari Jelas dan Tidaknya Makna

Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. Sholikhul Hadi, M.Ag


Disusun Oleh:

                                                Riadatun Nafis                      (212457)
                                                Norma Firdaus SA                (212456)
                                                Siti Barokah                           (212455)





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH / MBS
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Nash-nash Al Quran dan Sunnah adalah dalam bahasa Arab. Pemahaman hukum dari nash hanyalah menjadi satu pemahaman yang benar apabila diperhatikan konotasi uslub dalam bahasa Arab dan cara-cara dalalahnya, serta apa yang ditunjuki lafadh-lafadhnya, baik dalam bentuk mufrad maupun murakkab (susunan). Oleh karena inilah, maka ulama ushul fiqh Islam menaruh perhatian serius pada penelitian tentang uslub Arab, susunannya dan kata-kata mufradnya, serta mengambil kesimpulan dari penelitian tersebut. Diantara yang ditetapkan oleh ulama bahasa ini ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan (dhabith), yang dengan memperhatikannya dapat sampai kepada pemahaman hukum dari nash-nash syar’iyyah dengan suatu pemahaman yang benar, sesuai dengan apa yang difahami oleh bangsa Arab yang nash-nash tersebut datang dengan bahasanya, dan juga menjadi sarana untuk memperjelas nash yang mengandung kesamaran, menghilangkan kontradiksi yang kelihatan diantara nash-nash itu, dan mentakwilkan sesuatu yang menunjukkan untuk pentakwilannya, serta lainnya yang berhubungan dengan pengambilan hukum dari berbagai nashnya. Dalam tulisan ini, pemakalah akan menguraikan macam-macam lafadh ditinjau dari jelas dan tidaknya makna.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja macam-macam lafadh yang jelas maknanya?
2.      Apa saja macam-macam lafadh yang tidak jelas maknanya?








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Lafadh Yang Jelas Maknanya
Nash yang wadhih (jelas) dalalahnya adalah sesuatu yang menunjukkan terhadap  maksudnya dengan sighatnya itu sendiri, tanpa tergantung pada sesuatu hal yang bersifat khariji (eksternal). Para ulama’ Ushul fiqh membagi lafadh yang petunjuknya jelas dalam empat bagian yaitu sebagai berikut:
1.      Zhahir
Zhahir dalam istilah ushul fiqh ialah sesuatu yang menunjukkan terhadap maksudnya dengan shighatnya itu sendiri, tanpa ketergantungan pemaham maksudnya itu kepada suatu hal yang bersifat khariji (eksternal), akan tetapi maksudnya itu bukanlah yang dikehendaki yang sebenarnya dari susunan kalimatnya, dan ia mengandung kemungkinan takwil (interpretasi).[1] Menurut istilah adalah lafadz yang menunjukan suatu makna sesuai dengan asal penciptaannya atau urf (kebiasaan) penciptaannya, dan dimungkinkan memiliki makna lain meski kemungkinannya lemah.[2]
Menurut ulama Syafiiyah, zhahir yaitu:
اللفظ الذي له دلالة طيبة راجحة نشاءت عن رفع او عرف
Artinya : “ lafadh yang mempunyai petunjuk yang tidak memberi keyakinan, tetapi lebih kuat menyebabkan terjadinya asal makna atau uruf.”[3]
Contoh :
firman Allah SWT:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ
Artinya : “……Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya, bagimu maka tinggalkanlah…..”(QS Al Hasyr:7)
Ayat tersebut adalah zhahir berkenaan dengan wajibnya menaati Rasul dalam segala hal yang diperintahkannya dan segala hal yang dilarangnya. Karena makna itu adalah yang segera difahami dari ayat tersebut, akan tetapi makna tersebut tidaklah dimaksudkan yang sebenarnya dari susunan kalimatnya, karena maksud aslinya dari susunannya adalah Apa yang diberikan oleh Rasul berupa harta rampasan perang pada waktu pembagiaannya, maka terimalah, dan apa yang dilarang olehnya bagimu, maka tinggalkanlah. Makna zhâhir ini wajib diamalkan, karena suatu lafadz tidak bisa dialihkan dari makna yang segera dipahami kecuali berdasarkan (adanya) qarinah. Apabila terdapat qarinah maka makna yang ditunjukkan qarinahlah yang harus diamalkan. Jika lafadh yang zhahir bersifat umum (‘amm) ia mengandung kemungkinan untuk mentakhsiskannya, dan jika ia bersifat mutlak maka ia mengandung kemungkinan untuk dibatasi, dan jika ia merupakan lafadh yang hakekat, maka ia mengandung kemungkinan untuk dikehendaki makna majazi serta lainnya dari berbagai aspek takwil. Disamping itu, ia menerima untuk di nasakhkan, maksudnya hukumnya yang zhahir diganti dengan hukum lainnya (sepanjang hukum itu kelompok hukum far’iyyah juziyyah)
2.      Nash
Nash menurut istilah ulama ushul fiqh ialah sesuatu yang menunjukkan terhadap makna yang dimaksudkan secara asli dari susunan kalimatnya melalui shighatnya itu sendiri, namun ia mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan. Sepanjang makna tersebut adalah yang segera di fahami dari lafadh, dan pemahamannya tidak tergantung pada suatu yang bersifat khariji (eksternal), dan makna tersebut adalah yang dikehendaki secara asli dari susunan kalimatnya, maka lafadh tersebut dianggap sebagai nash terhadap makna itu.[4] Menurut pengertian lain,  An-Nash yaitu susunan kata yang maknanya jelas tetapi ada kemungkinan ditakhshish dan ditakwil atau makna yang dimaksud ditunjukkan oleh bentuk dari susunannya sejak dari asalnya.[5]
Menurut ulama Syafiiyah, pengertian Nash yaitu:
ما دل على معنى دون ان يحتمل معنى اخر
Artinya : “lafadh yang menunjukkan suatu pengertian yang tidak menerima makna lain”. Kebanyakan ulama Mutaakhirin juga menghendaki bahwa yang dimaksud dengan nash adalah Al Quran dan As Sunnah.[6]
Contoh :  
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ
Artinya: “……..padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba ……..” (QS Al Baqarah: 275)
Ayat tersebut merupakan nash terhadap peniadaan persamaan antara jual beli dan riba, karena sesungguhnya makna itulah yang segera difahami dari lafadh itu, dan dimaksudkan secara asli dari susunan kalimatnya.
Hukum nash adalah sama dengan zhahir, maka ia wajib diamalkan pada sesuatu yang dinashkannya. Namun ia masih mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan, maksudnya yang dikehendaki dari lafadh itu bukanlah yang dinashkannya. Ia juga menerima untuk dinasakhkan sebagaimana lafadh zhahir.[7]
3.      Mufassar
Mufassar yaitu lafadz yang maknanya jelas tanpa adanya kemungkinan takwil meskipun mungkin dinasakh pada masa turunnya risalah. Dengan kata lain lafadz yang maknanya tampak jelas berdasarkan dalil qath‟i, tidak mungkin memiliki makna lain, dan adanya terdapat pada hukum syara.[8] Contoh :
وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً
Artinya : “……..dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya” (QS At Taubah : 36)
Kata kaffah (semuanya) meniadakan kemungkinan pentakhsisan. Dan banyak lagi lainnya berupa materi hukuman yang menentukan hukuman atas tindak pidana tertentu, dan berbagai materi undang-undang perdata yang membatasi beberapa macam hutang atau hak atau menjelaskan berbagai hukum secara terperinci, yang tidak mengandung kemungkinan pentakwilannya.
Diantara hal itu lagi ialah bahwasanya shighat nash datang dalam bentuk garis besar, tidak terperinci, kemudian disusul oleh shighat lain yang syar’i dengan penjelasan yang interpretatif yang pasti, dan menghilangkan keijmalannya, yang merincinya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan) yang tidak mengandung kemungkinan takwil lagi. Hukum nash-nash mufassar wajib diamalkan sebagaimana diterangkan, dan tidak mengandung kemungkinan untuk dipalingkan dari zhahirnya. Hukumnya masih menerima nasakh, seperti halnya zhahir yaitu jika ia merupakan hukum syar’i yamg bersifat cabang yang menerima penggantian.[9]
4.      Muhkam
Muhkam, yaitu lafadz yang paling tinggi dan paling kuat derajat kejelasannya. Dengan kata lain teks yang maknanya tampak amat jelas, tanpa adanya kemungkinan takwil maupun nasakh.[10] Terkadang juga tidak menerima nasakh yang ditunjuk oleh suatu qarinah.[11] Karena hukum yang diambil dari nash tersebut, mungkin merupakan hukum yang asasi dari kaidah-kaidah agama yang tidak menerima penukaran, seperti menyembah Allah semata-mata, mengimani kitab-Nya dan para RasulNya, ataupun induk perbuatan terpuji seperti berbakti pada orang tua, bersikap adil, atau hukum yang bersifat far’i yang juz’i, akan tetapi pembuat hukum yang menunjukkan terhadap pengukuhan syariatnya, sebagaimana firman Allah mengenai orang-orang yang menuduh zina wanita-wanita terhormat :
وَ لا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهادَةً أَبَداً….
Artinya : “……dan janganlah kamu menerima persaksian mereka selama-lamanya……” (QS An Nur: 4)
Hukum Nash yang muhkam adalah wajib diamalkan secara pasti. Ia tidak mengndung kemungkinan untuk dipalingkan dari zhahirnya, dan penaskhannya, sebab sesudah Rasulullah wafat tidak ditemukan otoritas tasyiriyyah yang berwenang untuk membatalkan apa yang dibawa Rasulullah atau menggantikannya.[12]
      Inilah empat macam macam dari nash yang jelas dalalahnya, yang berbeda-beda dalam kejelasan dalalahnya terhadap yang dikehendaki daripadanya. Pengaruh perbedaan tingkatan ini akan jelas ketika terjadi pertentangan.

B.     Lafadh Yang Tidak Jelas Maknanya
Lafadh yang tidak jelas maknanya/ dalalahnya adalah sesuatu yang tidak menunjukkan terhadap yang dikehendakinya dengan shighatnya sendiri, akan tetapi pemahaman maksudnya tergantung pada sesuatu yang khariji (bersifat eksternal).[13] Menurut pengertian lain, Nash yang kurang jelas dilalahnya ialah nash yang dilalahnya baru ditemui melalui petunjuk dari luar nash itu.[14] Lafadh Yang Tidak Jelas Maknanya (Khafi ad-dilalah) dibagi menjadi empat:
1.      Khafi
Khafi yaitu lafadz yang derajat kesamarannya paling sedikit. Makna yang ditunjukkan oleh lafadznya jelas, tetapi kesalahan bisa terjadi karena adanya faktor luar.[15] Menurut pengertian lain, Khafi adalah lafadh yang dilalahnya tersembunyi disebabkan adanya kesamaran. kesamaran ini dapat dihilangkan dengan penelitian yang seksama untuk mencari makna dan arti yang dimaksud. Kesamaran ini terjadi karena sifat yang ada pada lafadh itu lebih atau kurang dari sifat yang ada pada lafadh yang lain atau mempunyai nama khusus yang baru diketahui maksudnya dengan bantuan petunjuk dari lafadh itu sendiri. Contohnya : Lafadz as-sâriq (pencuri) merupakan lafadz yang jelas menunjukan makna asalnya, akan tetapi apakah makna tersebut juga mencakup makna at-tharrar an-nasyal yaitu orang yang menghipnotis orang yang terjaga kemudian mengambil hartanya di hadapannya. Perbuatan seperti ini merupakan pencurian tetapi terdapat aktivitas lain, yaitu menghipnotis. Begitu pula apakah lafadz as-sâriq mencakup juga lafadz an-nabasy yaitu orang yang mencuri kain kafan dari kuburan. Padahal aktivitas ini lebih ringan dari pada dimasukkan pada kasus pencurian, karena orang yang menggali kuburan dan mengambil kain kafan dari dalamnya berarti dia mengambil harta yang tidak ada pemiliknya dan tidak disukai. Setelah meneliti makna as-sariqah (pencurian) dalam kedua lafadz tersebut (at-tharrar dan an-nabasy) maka para ulama menyamakan lafadz at-tharrar dengan lafadz as-sâriq. Sedangkan lafadz an-nabasy membutuhkan ijtihad. Lafadz at-tharrar dan an-nabasy termasuk lafadz al-khafi.[16]
2.      Musykil
Musykil, yaitu lafadz yang kesamarannya terdapat pada lafadz itu sendiri, tetapi maksudnya bisa diketahui dengan memikirkannya.[17] Menurut definisi lain, Musykil ialah lafadh yang kurang jelas dilalahnya, karena lafadh itu sendiri terdiri atas beberapa arti, seperti lafdh musytarak dan lafadh yang mempunyai arti majazi dan arti hakiki atau disebabkan adanya pertentangan antara dua buah nash.[18] Apabila ada nash-nash yang zhahirnya saling bertentangan dan kontradiksi, maka seorang mujtahid haruslah mentakwilkannya dengan suatu pentakwilan yang sahih yang mensintesiskan antara nash-nash itu dan menghilangkan sesuatu yang ada pada zhahirnya terdapat kontradiksi dan pertentangan. Pedomannya dalam pentakwilan ini ialah ada kalanya nash lain, atau kaidah-kaidah syara’, atau hikmah pentasyri’an.[19]
3.      Mujmal
Mujmal adalah Lafadh yang kurang jelas dilalahnya dan tidak ditemui petunjuk lain yang menunjukkan makna yang dimaksud. Contoh lafadh mujmal ialah lafadh yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti syara’, seperti lafadh shalat. Lafadh shalat menurut bahasa diartikan dengan do’a, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Apabila ada lafadh dalam nash syar’i sendiri menginterpretasikannya. Oleh karena inilah, maka datang sunnah amaliyah dan qauliyah untuk menginterpretasikan shalat, menerangkan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya dan cara pelaksanannya.
Suatu lafadh dapat menjadi mujmal karena:
a.       Maknanya musytarak
b.      Dipalingkan dari makna Bahasa pada makna syara’
c.       Lafadh itu jarang dipergunakan.
4.      Mutasyabih
Mutasyabih yaitu lafadh yang petunjuknya memberi arti yang dimaksud oleh lafadh itu sendiri, sehingga tidak ada diluar lafadh yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.[20] Contoh lafadh yad dalam firman Allah :
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Artinya : “Tangan Allah diatas tangan mereka..”
Pentakwilannya : Kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka.[21]
Ayat yang mengandung lafadh yang mutasyabih seolah-olah menyerupakan Tuhan dengan makhlukNya seperti lafadh tangan, tidak mungkin diketahui arti dan maknanya melalui bahasa, karena Allah Mahasuci dari kemiripan dengan makhlukNya.
Dalam menghadapi lafadh mutasyabih ini, para ulama berbeda pendapat. Para ulama salaf, hanya menyerahkan kepada Allah saja, karena Allah yang Mahatahu tentang arti dan maknanya, sedangkan manusia wajib mengimaninya dan tidak mencari-cari ta’wilnya. Namun para ulama khalaf berusaha untuk menghilangkan kesamarannya dengan mencari ta’wil yang tepat. Umpamanya lafadh yad (tangan) di takwilkan dengan kekuasaan. Maka dengan cara ini barulah hilang kesamaran lafadh mutasyabihat.[22]














BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Nash yang wadhih (jelas) dalalahnya adalah : sesuatu yang menunjukkan terhadap  maksudnya dengan sighatnya itu sendiri, tanpa tergantung pada sesuatu hal yang bersifat khariji (eksternal).
2.      Para ulama’ Ushul fiqh membagi lafadh yang petunjuknya jelas dalam empat bagian yaitu sebagai berikut:
a.       Zhahir adalah lafadz yang menunjukan suatu makna sesuai dengan asal penciptaannya atau urf (kebiasaan) penciptaannya, dan dimungkinkan memiliki makna lain meski kemungkinannya lemah
b.      Nash adalah susunan kata yang maknanya jelas tetapi ada kemungkinan ditakhshish dan ditakwil atau makna yang dimaksud ditunjukkan oleh bentuk dari susunannya sejak dari asalnya.
c.       Mufassar adalah lafadz yang maknanya jelas tanpa adanya kemungkinan takwil meskipun mungkin dinasakh pada masa turunnya risalah. Dengan kata lain lafadz yang maknanya tampak jelas berdasarkan dalil qath‟i, tidak mungkin memiliki makna lain, dan adanya terdapat pada hukum syara
d.      Muhkam adalah lafadz yang paling tinggi dan paling kuat derajat kejelasannya. Dengan kata lain teks yang maknanya tampak amat jelas, tanpa adanya kemungkinan takwil maupun nasakh.
3.      Lafadh yang tidak jelas dalalahnya adalah sesuatu yang tidak menunjukkan terhadap yang dikehendakinya dengan shighatnya sendiri, akan tetapi pemahaman maksudnya tergantung pada sesuatu yang khariji (bersifat eksternal)
4.      Lafadh Yang Tidak Jelas Maknanya (Khafi ad-dilalah) dibagi menjadi empat:
a.       Khafi adalah lafadz yang derajat kesamarannya paling sedikit. Makna yang ditunjukkan oleh lafadznya jelas, tetapi kesalahan bisa terjadi karena adanya faktor luar.
b.      Musykil adalah lafadz yang kesamarannya terdapat pada lafadz itu sendiri, tetapi maksudnya bisa diketahui dengan memikirkannya
c.       Mujmal adalah Lafadh yang kurang jelas dilalahnya dan tidak ditemui petunjuk lain yang menunjukkan makna yang dimaksud
d.      Mutasyabih adalah lafadh yang petunjuknya memberi arti yang dimaksud oleh lafadh itu sendiri, sehingga tidak ada diluar lafadh yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang, 1994.
Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online). Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com  (06 Maret 2014)
Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 2001.


[1] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang, 1994, hlm.243-244.
[2] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online). Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com  (06 Maret 2014)
[3] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm.12
[4] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm.246-247
[5] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online). Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com  (06 Maret 2014)

[6] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm.13
[7] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm.247-248
[8] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online). Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com  (06 Maret 2014)


[9] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm. 253-255
[10] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online). Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com  (06 Maret 2014)
[11] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm.11
[12] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm. 256
[13] Ibid, hlm.259
[14] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm. 14
[15] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online). Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com  (06 Maret 2014)
[16] Khairul Umam dan Achyar Aminudin,Loc.Cit.
[17] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online). Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com  (06 Maret 2014)
[18] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm. 15
[19] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm. 264
[20] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm. 16-18
[21] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm. 269
[22] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm. 19

No comments:

Post a Comment