Macam-macam Lafadh Ditinjau Dari Jelas
dan Tidaknya Makna
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. Sholikhul Hadi, M.Ag
Disusun Oleh:
Riadatun
Nafis (212457)
Norma
Firdaus SA (212456)
Siti
Barokah (212455)
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARI’AH /
MBS
TAHUN 2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Nash-nash Al
Quran dan Sunnah adalah dalam bahasa Arab. Pemahaman hukum dari nash hanyalah
menjadi satu pemahaman yang benar apabila diperhatikan konotasi uslub dalam
bahasa Arab dan cara-cara dalalahnya, serta apa yang ditunjuki
lafadh-lafadhnya, baik dalam bentuk mufrad maupun murakkab (susunan). Oleh
karena inilah, maka ulama ushul fiqh Islam menaruh perhatian serius pada
penelitian tentang uslub Arab, susunannya dan kata-kata mufradnya, serta
mengambil kesimpulan dari penelitian tersebut. Diantara yang ditetapkan oleh
ulama bahasa ini ialah kaidah-kaidah dan ketentuan-ketentuan (dhabith), yang
dengan memperhatikannya dapat sampai kepada pemahaman hukum dari nash-nash
syar’iyyah dengan suatu pemahaman yang benar, sesuai dengan apa yang difahami
oleh bangsa Arab yang nash-nash tersebut datang dengan bahasanya, dan juga
menjadi sarana untuk memperjelas nash yang mengandung kesamaran, menghilangkan
kontradiksi yang kelihatan diantara nash-nash itu, dan mentakwilkan sesuatu
yang menunjukkan untuk pentakwilannya, serta lainnya yang berhubungan dengan
pengambilan hukum dari berbagai nashnya. Dalam tulisan ini, pemakalah akan
menguraikan macam-macam lafadh ditinjau dari jelas dan tidaknya makna.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja macam-macam lafadh yang jelas maknanya?
2.
Apa saja macam-macam lafadh yang tidak jelas maknanya?
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Lafadh Yang Jelas Maknanya
Nash yang wadhih
(jelas) dalalahnya adalah sesuatu yang menunjukkan terhadap maksudnya dengan sighatnya itu sendiri, tanpa
tergantung pada sesuatu hal yang bersifat khariji (eksternal). Para ulama’ Ushul
fiqh membagi lafadh yang petunjuknya jelas dalam empat bagian yaitu sebagai
berikut:
1.
Zhahir
Zhahir dalam istilah ushul fiqh ialah sesuatu yang menunjukkan
terhadap maksudnya dengan shighatnya itu sendiri, tanpa ketergantungan pemaham
maksudnya itu kepada suatu hal yang bersifat khariji (eksternal), akan tetapi
maksudnya itu bukanlah yang dikehendaki yang sebenarnya dari susunan
kalimatnya, dan ia mengandung kemungkinan takwil (interpretasi).[1] Menurut
istilah adalah lafadz yang menunjukan suatu makna sesuai dengan asal
penciptaannya atau urf (kebiasaan) penciptaannya, dan dimungkinkan memiliki
makna lain meski kemungkinannya lemah.[2]
Menurut
ulama Syafiiyah, zhahir yaitu:
اللفظ
الذي له دلالة طيبة راجحة نشاءت عن رفع او عرف
Artinya
: “ lafadh yang mempunyai petunjuk yang tidak memberi keyakinan, tetapi lebih
kuat menyebabkan terjadinya asal makna atau uruf.”[3]
Contoh
:
firman
Allah SWT:
وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ …
Artinya
: “……Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia, dan apa yang
dilarangnya, bagimu maka tinggalkanlah…..”(QS Al Hasyr:7)
Ayat
tersebut adalah zhahir berkenaan dengan wajibnya menaati Rasul dalam segala hal
yang diperintahkannya dan segala hal yang dilarangnya. Karena makna itu adalah
yang segera difahami dari ayat tersebut,
akan tetapi makna tersebut tidaklah dimaksudkan yang sebenarnya dari susunan
kalimatnya, karena maksud aslinya dari susunannya adalah Apa yang diberikan
oleh Rasul berupa harta rampasan perang pada waktu pembagiaannya, maka
terimalah, dan apa yang dilarang olehnya bagimu, maka tinggalkanlah. Makna
zhâhir ini wajib diamalkan, karena suatu lafadz tidak bisa dialihkan dari makna
yang segera dipahami kecuali berdasarkan (adanya) qarinah. Apabila terdapat
qarinah maka makna yang ditunjukkan qarinahlah yang harus diamalkan. Jika
lafadh yang zhahir bersifat umum (‘amm) ia mengandung kemungkinan untuk
mentakhsiskannya, dan jika ia bersifat mutlak maka ia mengandung kemungkinan
untuk dibatasi, dan jika ia merupakan lafadh yang hakekat, maka ia mengandung
kemungkinan untuk dikehendaki makna majazi serta lainnya dari berbagai aspek takwil.
Disamping itu, ia menerima untuk di nasakhkan, maksudnya hukumnya yang zhahir
diganti dengan hukum lainnya (sepanjang hukum itu kelompok hukum far’iyyah
juziyyah)
2.
Nash
Nash menurut istilah ulama ushul fiqh ialah sesuatu yang
menunjukkan terhadap makna yang dimaksudkan secara asli dari susunan kalimatnya
melalui shighatnya itu sendiri, namun ia mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan.
Sepanjang makna tersebut adalah yang segera di fahami dari lafadh, dan pemahamannya
tidak tergantung pada suatu yang bersifat khariji (eksternal), dan makna
tersebut adalah yang dikehendaki secara asli dari susunan kalimatnya, maka
lafadh tersebut dianggap sebagai nash terhadap makna itu.[4] Menurut
pengertian lain, An-Nash
yaitu susunan kata yang maknanya jelas tetapi ada kemungkinan ditakhshish dan ditakwil
atau makna yang dimaksud ditunjukkan oleh bentuk dari susunannya sejak dari
asalnya.[5]
Menurut
ulama Syafiiyah, pengertian Nash yaitu:
ما
دل على معنى دون ان يحتمل معنى اخر
Artinya : “lafadh yang menunjukkan suatu pengertian yang tidak
menerima makna lain”. Kebanyakan ulama Mutaakhirin juga menghendaki bahwa yang
dimaksud dengan nash adalah Al Quran dan As Sunnah.[6]
Contoh
:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ…
Artinya:
“……..padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan Riba ……..” (QS Al
Baqarah: 275)
Ayat tersebut merupakan nash terhadap peniadaan persamaan antara
jual beli dan riba, karena sesungguhnya makna itulah yang segera difahami dari
lafadh itu, dan dimaksudkan secara asli dari susunan kalimatnya.
Hukum
nash adalah sama dengan zhahir, maka ia wajib diamalkan pada sesuatu yang
dinashkannya. Namun ia masih mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan,
maksudnya yang dikehendaki dari lafadh itu bukanlah yang dinashkannya. Ia juga
menerima untuk dinasakhkan sebagaimana lafadh zhahir.[7]
3.
Mufassar
Mufassar yaitu
lafadz yang maknanya jelas tanpa adanya kemungkinan takwil meskipun mungkin
dinasakh pada masa turunnya risalah. Dengan kata lain lafadz yang maknanya
tampak jelas berdasarkan dalil qath‟i, tidak mungkin memiliki makna lain, dan
adanya terdapat pada hukum syara.[8]
Contoh :
وَقَاتِلُوا
الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً…
Artinya : “……..dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya” (QS At
Taubah : 36)
Kata kaffah (semuanya) meniadakan kemungkinan pentakhsisan.
Dan banyak lagi lainnya berupa materi hukuman yang menentukan hukuman atas
tindak pidana tertentu, dan berbagai materi undang-undang perdata yang
membatasi beberapa macam hutang atau hak atau menjelaskan berbagai hukum secara
terperinci, yang tidak mengandung kemungkinan pentakwilannya.
Diantara hal itu
lagi ialah bahwasanya shighat nash datang dalam bentuk garis besar, tidak
terperinci, kemudian disusul oleh shighat lain yang syar’i dengan penjelasan
yang interpretatif yang pasti, dan menghilangkan keijmalannya, yang merincinya
sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan) yang tidak mengandung kemungkinan
takwil lagi. Hukum nash-nash mufassar wajib diamalkan sebagaimana diterangkan,
dan tidak mengandung kemungkinan untuk dipalingkan dari zhahirnya. Hukumnya
masih menerima nasakh, seperti halnya zhahir yaitu jika ia merupakan hukum
syar’i yamg bersifat cabang yang menerima penggantian.[9]
4.
Muhkam
Muhkam, yaitu lafadz yang paling tinggi dan paling kuat derajat
kejelasannya. Dengan kata lain teks yang maknanya tampak amat jelas, tanpa
adanya kemungkinan takwil maupun nasakh.[10]
Terkadang juga tidak menerima nasakh yang ditunjuk oleh suatu qarinah.[11] Karena
hukum yang diambil dari nash tersebut, mungkin merupakan hukum yang asasi dari
kaidah-kaidah agama yang tidak menerima penukaran, seperti menyembah Allah
semata-mata, mengimani kitab-Nya dan para RasulNya, ataupun induk perbuatan
terpuji seperti berbakti pada orang tua, bersikap adil, atau hukum yang
bersifat far’i yang juz’i, akan tetapi pembuat hukum yang menunjukkan terhadap
pengukuhan syariatnya, sebagaimana firman Allah mengenai orang-orang yang
menuduh zina wanita-wanita terhormat :
وَ
لا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهادَةً أَبَداً….
Artinya
: “……dan janganlah kamu menerima persaksian mereka selama-lamanya……” (QS An
Nur: 4)
Hukum
Nash yang muhkam adalah wajib diamalkan secara pasti. Ia tidak mengndung
kemungkinan untuk dipalingkan dari zhahirnya, dan penaskhannya, sebab sesudah
Rasulullah wafat tidak ditemukan otoritas tasyiriyyah yang berwenang untuk
membatalkan apa yang dibawa Rasulullah atau menggantikannya.[12]
Inilah empat macam macam dari nash yang
jelas dalalahnya, yang berbeda-beda dalam kejelasan dalalahnya terhadap yang
dikehendaki daripadanya. Pengaruh perbedaan tingkatan ini akan jelas ketika
terjadi pertentangan.
B.
Lafadh Yang Tidak Jelas Maknanya
Lafadh yang tidak jelas maknanya/ dalalahnya adalah sesuatu yang
tidak menunjukkan terhadap yang dikehendakinya dengan shighatnya sendiri, akan
tetapi pemahaman maksudnya tergantung pada sesuatu yang khariji (bersifat
eksternal).[13]
Menurut pengertian lain, Nash yang kurang jelas dilalahnya ialah nash yang
dilalahnya baru ditemui melalui petunjuk dari luar nash itu.[14] Lafadh
Yang Tidak Jelas Maknanya (Khafi ad-dilalah) dibagi menjadi empat:
1.
Khafi
Khafi yaitu lafadz
yang derajat kesamarannya paling sedikit. Makna yang ditunjukkan oleh lafadznya
jelas, tetapi kesalahan bisa terjadi karena adanya faktor luar.[15] Menurut
pengertian lain, Khafi adalah lafadh yang dilalahnya tersembunyi disebabkan
adanya kesamaran. kesamaran ini dapat dihilangkan dengan penelitian yang
seksama untuk mencari makna dan arti yang dimaksud. Kesamaran ini terjadi
karena sifat yang ada pada lafadh itu lebih atau kurang dari sifat yang ada
pada lafadh yang lain atau mempunyai nama khusus yang baru diketahui maksudnya
dengan bantuan petunjuk dari lafadh itu sendiri. Contohnya : Lafadz as-sâriq
(pencuri) merupakan lafadz yang jelas menunjukan makna asalnya, akan tetapi
apakah makna tersebut juga mencakup makna at-tharrar an-nasyal yaitu orang yang
menghipnotis orang yang terjaga kemudian mengambil hartanya di hadapannya.
Perbuatan seperti ini merupakan pencurian tetapi terdapat aktivitas lain, yaitu
menghipnotis. Begitu pula apakah lafadz as-sâriq mencakup juga lafadz an-nabasy
yaitu orang yang mencuri kain kafan dari kuburan. Padahal aktivitas ini lebih
ringan dari pada dimasukkan pada kasus pencurian, karena orang yang menggali
kuburan dan mengambil kain kafan dari dalamnya berarti dia mengambil harta yang
tidak ada pemiliknya dan tidak disukai. Setelah meneliti makna as-sariqah
(pencurian) dalam kedua lafadz tersebut (at-tharrar dan an-nabasy) maka para
ulama menyamakan lafadz at-tharrar dengan lafadz as-sâriq. Sedangkan lafadz
an-nabasy membutuhkan ijtihad. Lafadz at-tharrar dan an-nabasy termasuk lafadz
al-khafi.[16]
2.
Musykil
Musykil, yaitu lafadz yang kesamarannya terdapat pada lafadz itu
sendiri, tetapi maksudnya bisa diketahui dengan memikirkannya.[17] Menurut
definisi lain, Musykil ialah lafadh yang kurang jelas dilalahnya, karena lafadh
itu sendiri terdiri atas beberapa arti, seperti lafdh musytarak dan
lafadh yang mempunyai arti majazi dan arti hakiki atau disebabkan adanya
pertentangan antara dua buah nash.[18] Apabila
ada nash-nash yang zhahirnya saling bertentangan dan kontradiksi, maka seorang
mujtahid haruslah mentakwilkannya dengan suatu pentakwilan yang sahih yang
mensintesiskan antara nash-nash itu dan menghilangkan sesuatu yang ada pada
zhahirnya terdapat kontradiksi dan pertentangan. Pedomannya dalam pentakwilan
ini ialah ada kalanya nash lain, atau kaidah-kaidah syara’, atau hikmah pentasyri’an.[19]
3.
Mujmal
Mujmal adalah Lafadh yang kurang jelas dilalahnya dan tidak ditemui
petunjuk lain yang menunjukkan makna yang dimaksud. Contoh lafadh mujmal ialah
lafadh yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti syara’,
seperti lafadh shalat. Lafadh shalat menurut bahasa diartikan dengan do’a,
namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir
dan diakhiri dengan salam. Apabila ada lafadh dalam nash syar’i sendiri
menginterpretasikannya. Oleh karena inilah, maka datang sunnah amaliyah dan
qauliyah untuk menginterpretasikan shalat, menerangkan rukun-rukunnya,
syarat-syaratnya dan cara pelaksanannya.
Suatu
lafadh dapat menjadi mujmal karena:
a.
Maknanya musytarak
b.
Dipalingkan dari makna Bahasa pada makna syara’
c.
Lafadh itu jarang dipergunakan.
4.
Mutasyabih
Mutasyabih yaitu lafadh yang petunjuknya memberi arti yang dimaksud
oleh lafadh itu sendiri, sehingga tidak ada diluar lafadh yang dipergunakan
untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan
tentang artinya.[20]
Contoh lafadh yad dalam firman Allah :
… يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ …
Artinya
: “Tangan Allah diatas tangan mereka..”
Pentakwilannya
: Kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka.[21]
Ayat
yang mengandung lafadh yang mutasyabih seolah-olah menyerupakan Tuhan dengan
makhlukNya seperti lafadh tangan, tidak mungkin diketahui arti dan
maknanya melalui bahasa, karena Allah Mahasuci dari kemiripan dengan
makhlukNya.
Dalam menghadapi lafadh mutasyabih ini, para ulama berbeda pendapat.
Para ulama salaf, hanya menyerahkan kepada Allah saja, karena Allah yang
Mahatahu tentang arti dan maknanya, sedangkan manusia wajib mengimaninya dan
tidak mencari-cari ta’wilnya. Namun para ulama khalaf berusaha untuk
menghilangkan kesamarannya dengan mencari ta’wil yang tepat. Umpamanya lafadh yad
(tangan) di takwilkan dengan kekuasaan. Maka dengan cara ini barulah hilang
kesamaran lafadh mutasyabihat.[22]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Nash yang wadhih (jelas) dalalahnya adalah : sesuatu yang
menunjukkan terhadap maksudnya dengan
sighatnya itu sendiri, tanpa tergantung pada sesuatu hal yang bersifat khariji
(eksternal).
2.
Para ulama’ Ushul fiqh membagi lafadh yang petunjuknya jelas dalam
empat bagian yaitu sebagai berikut:
a.
Zhahir adalah lafadz yang menunjukan suatu makna sesuai dengan asal
penciptaannya atau urf (kebiasaan) penciptaannya, dan dimungkinkan memiliki
makna lain meski kemungkinannya lemah
b.
Nash adalah susunan kata yang
maknanya jelas tetapi ada kemungkinan ditakhshish dan ditakwil atau makna yang
dimaksud ditunjukkan oleh bentuk dari susunannya sejak dari asalnya.
c.
Mufassar adalah lafadz yang maknanya jelas tanpa adanya kemungkinan
takwil meskipun mungkin dinasakh pada masa turunnya risalah. Dengan kata lain
lafadz yang maknanya tampak jelas berdasarkan dalil qath‟i, tidak mungkin
memiliki makna lain, dan adanya terdapat pada hukum syara
d.
Muhkam adalah lafadz yang paling tinggi dan paling kuat derajat
kejelasannya. Dengan kata lain teks yang maknanya tampak amat jelas, tanpa
adanya kemungkinan takwil maupun nasakh.
3.
Lafadh yang tidak jelas dalalahnya adalah sesuatu yang tidak
menunjukkan terhadap yang dikehendakinya dengan shighatnya sendiri, akan tetapi
pemahaman maksudnya tergantung pada sesuatu yang khariji (bersifat eksternal)
4.
Lafadh Yang Tidak Jelas Maknanya (Khafi ad-dilalah) dibagi menjadi
empat:
a.
Khafi adalah lafadz yang derajat kesamarannya paling sedikit. Makna
yang ditunjukkan oleh lafadznya jelas, tetapi kesalahan bisa terjadi karena
adanya faktor luar.
b.
Musykil adalah lafadz yang kesamarannya terdapat pada lafadz itu
sendiri, tetapi maksudnya bisa diketahui dengan memikirkannya
c.
Mujmal adalah Lafadh yang kurang jelas dilalahnya dan tidak ditemui
petunjuk lain yang menunjukkan makna yang dimaksud
d.
Mutasyabih adalah lafadh yang petunjuknya memberi arti yang
dimaksud oleh lafadh itu sendiri, sehingga tidak ada diluar lafadh yang
dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak
menerangkan tentang artinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang, 1994.
Atho’ bin
Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online). Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com (06 Maret 2014)
Khairul
Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
[1] Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang,
1994, hlm.243-244.
[2] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online).
Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com (06 Maret 2014)
[3] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka
Setia, Bandung, 2001, hlm.12
[4] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm.246-247
[5] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online).
Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com (06 Maret 2014)
[6] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm.13
[7] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm.247-248
[8] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online).
Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com (06 Maret 2014)
[9] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm. 253-255
[10] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online).
Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com (06 Maret 2014)
[11] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm.11
[12] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm. 256
[13] Ibid, hlm.259
[14] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm. 14
[15] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online).
Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com (06 Maret 2014)
[16] Khairul Umam dan Achyar Aminudin,Loc.Cit.
[17] Atho’ bin Khalil. Taisiril Wushul Ilal Ushul.(online).
Tersedia : http://ashakimppa.blogspot.com (06 Maret 2014)
[18] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm. 15
[19] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm. 264
[20] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm. 16-18
[21] Abdul Wahab Khalaf, Op.Cit, hlm. 269
[22] Khairul Umam dan Achyar Aminudin, Op.Cit, hlm. 19
No comments:
Post a Comment