Halaman

Tuesday, March 12, 2019

Ushul Fiqih: LAFAL AM DAN KHAS,LAFAL MUTLAQ DAN MUQOYYAD, LAFAL AMAR DAN NAHI


LAFAL AM DAN KHAS,LAFAL MUTLAQ DAN MUQOYYAD, LAFAL AMAR DAN NAHI

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. H. Sholikul Hadi, M.Ag











Disusun oleh :
Ahmad Kamaluddin   (212452)
Danar Nurdiansyah     (212453)
M Miftahul Ulum        (212454)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGRI (STAIN) KUDUS
JURUSAN SYARIAH/ EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2014




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dalam mengkaji Islam, salah unsur yang sangat penting digunakan sebagai pendekatan adalah Ilmu Ushulul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum syari'at yang bersifat amaliyah, yang diperoleh melalui dalil-dalil secara rinci. Melalui kaidah-kaidah ushul fiqh akan diketahui nash-nash syara' dan hukum-hukum yang ditunjukkannya.
Dengan ushul fiqh dapat dicarikan solusi untuk menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan kontradiksi satu sama lain. Dengan adanya perangkat ushul fiqh maka syari'at Islam akan membuktikan dirinya sebagai syari'at yang akan berlaku sepanjang masa, dan tidak akan hilang ditelan zaman. Demikian pula syari'at Islam akan cocok diamalkan oleh segala etnis dan bangsa apa saja di dunia ini. Karena ruh dari ushul fiqh adalah fleksibilitas dan kemudahan.
Diantara kaidah-kaidah ushul fiqh yang penting diketahui adalah Lafadz Al Am dan Khas, lafal Muthlaq dan Al Muqayyad, Lafal Amr dan Nahi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana penjelasan lafal Am dan Khash?
2.      Bagaimana penjelasan lafal Mutlaq dan Muqoyyad?
3.      Bagaimana penjelasan lafal Amr dan Nahi?







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Lafal Am Dan Khash
1. Lafal Am
‘Am menurut bahasa artinya merata atau umum. Sedang menurut istilah yaitu “lafal yang meliputi pengertian umum terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafal itu,dengan hanya disebut sekaligus.”
v  Macam-macam lafadz ‘am
a.    Lafadz ‘am yang dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan). Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz).( Hud:6).
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali.
b.    Lafadz ‘am tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
مَا كَانَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ
Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. (At-Taubah: 120).
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya orang-orang yang mampu.
c.    Lafadz ‘am yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian cakupannya. Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru.( Al-Baqarah: 228).
Lafadz ‘am dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umum atau sebagian cakupannya.[1]

2. Lafal Khash
Khas ialah lafadz yang menunjukkan arti yang tertentu, tidak meliputi arti umum, dengan kata lain, khas itu kebalikan dari `âm.
Menurut istilah, definisi khas adalah:
“Al-khas adalah lafadh yang diciptakan untuk menunjukkan pada perseorangan tertentu, seperti Muhammad. Atau menunjukkan satu jenis, seperti lelaki. Atau menunjukkan beberapa satuan terbatas, seperti tiga belas, seratus, sebuah kaum, sebuah masyarakat, sekumpulan, sekelompok, dan lafadh-LAFADH lain yang menunjukkan bilangan beberapa satuan, tetapi tidak mencakup semua satuan-satuan itu”.
v  Dalalah Khash
Dalalah khas menunjuk kepada dalalah qath’iyyah terhadap makna khusus yang dimaksud dan hukum yang ditunjukkannya adalah qath’iy, bukan dzanniy, selama tidak ada dalil yang memalingkannya kepada makna yang lain. Misalnya, firman Allah:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
Tetapi jika ia tidak menemukan binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji..(Al-Baqaarah :196)
Lafadz  tsalatsah (tiga) dalam ayat di atas adalah khas, yang tidak mungkin diartikan kurang atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafadh itu. Oleh karena itu dalalah maknanya adalah qath’iy dan dalalah hukumnya pun qath’iy.
Akan tetapi, apabila ada qarinah, maka lafadh khas harus ditakwilkan kepada maksud makna yang lain. Sebagai contoh hadits Nabi yang berbunyi:
فِيْ كُلِّ أَرْبَعِيْنَ شَاةً شَاةٌ
“pada setiap empat puluh kambing, wajib zakatnya seekor kambing”.
Menurut jumhur ulama, arti kata empat puluh ekor kambing dan seekor kambing, keduanya adalah lafadh khas. Karena kedua lafadh tersebut tidak mungkin diartikan lebih atau kurang dari makna yang ditunjuk oleh lafadh itu sendiri. Dengan demikian, dalalah lafadh tersebut adalah qath’iy. Tetapi menurut Ulama Hanafiyah, dalam hadits tersebut terdapat qarinah yang mengalihkan kepada arti yang lain. Yaitu bahwa fungsi zakat adalah untuk menolong fakir miskin. Pertolongan itu dapat dilakukan bukan hanya dengan memberikan seekor kambing, tetapi juga dapat dengan menyerahkan harga seekor kambing yang dizakatkan.[2]


B.     Lafal Mutlaq Dan Muqayyad
1.      Mutlaq
Kata mutlaq secara bahasa, berarti tidak terkait dengan ikatan atau syarat tertentu. Sedangkan menurut ulama ushul fiqh mutlaq adaalah“ Lafal yang memberi petunjuk terhadap maudhu’nya (sasaran pengguna lafadz) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.”
Menurut Khairul Uman mutlaq adalah lafadz yang menunjukan arti satu atau arti sebenarnya tanpa dibatasi oleh suatu hal yang lain.
Contohnya adalah:
...... يَتَمَآسَّا أَن قَبْلِ مِّن رَقَبَةٍۢ فَتَحْرِيرُ قَالُوا۟ لِمَا يَعُودُونَ ثُمَّ نِّسَآئِهِمْ مِن يُظَٰهِرُونَ وَٱلَّذِينَ
“Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur...”
Ayat ini menjelaskan tentang kafart zhihar bagi suami yang menyerupakan punggung istrinya dengan ibunya yaitu dengan memerdekan budak. Ini dipahami dari ungkapan ayat “maka merdekakanlah seorang budak”. Mengingat lafadz raqabah (budak) merupakan lafadz mutlaq, maka kaffarat dzihar meliputi pembebasan seoarang budak yang mencakup segala jenis budak, baik yang mukmin ataupun yang kafir.
Dilihat secara sepintas lafadz mutlaq mirip dengan lafadz ,amm, tetapi sebenarnya antara keduanya berbeda. Pada lafadz ‘amm keumumannya bersifat syumuly (melingkupi), sementara keumuman lafadz mutlaq bersifat badali (mengingatkan). Umum syumuly adalah kulliy (keseluruhan) yang berlaku atas satuannya, semenatara keumuman badali adalah kully dari sisi tidak terhalang menggambarkan untuk setiap satuannya, hanya menggambarkan satuan yang syumuly. Dan lafadz ‘amm menunjukan seluruh afrad yang tercakup dalam maknanya, sedangkan lafadz mutlaq menunjukan kepada diri atau beberapa diri mana saja tetapi tidak kepada seluruh diri.[3]

2.      Muqayyad

Muqayyad secara bahasa adalah terikat. Sementara secara istilah adalah lafadz yang menunjukan suatu satuan dalam jenisnya yang dikaitkan dengan sifat tertentu. Contohnya : rajulan iraki.
       Menurut Abu Dzarah pembatasan ini terdiri dari sifat, hal, ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya.
       Contohnya :
وايديكم الى المرافق
“Basuhlah tanganmu sampai siku-siku”
Contoh ini menjelaskan tentang wudhu, yaitu harus membasuh tangan sampai siku. Lafadz aidiikum ini disebut muqayyad (dibatasi), sedangkan lafadz ila al-marofiq disebut al-qaid.

C.    Lafal Amar Dan Nahi
1.      Pengertian Amar dan Nahi
a.       Pengertian Amar
Hakikat pengertian amar (perintah), sebenarnya ialah
لَفْظٌ يُرَادُبِهِ أنْ يَفْعَلَ اْلمَأْمُوْرُمَايُقْصَدُمِنَ اْلأَمْرِ
Artinya: “ lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan.”
Menurut Dr. Ali Hasbullah mendefinisikan amar adalah suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.[4]
b.      Pengertian Nahi
Dari segi bahasa nahi artinya larangan. Sedangkan nahi menurut syara’ ialah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.[5]
2.      Sighat Amar dan Nahi
a.       Sighat amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat amar berbentuk sebagai beriku:
1)      Berbentuk Fi’il amar/perintah langsung
Misalnya, firman Allah:
أَقِيْمُواالصَّلوةَ{البقرة:43
Artinya: “Dirikanlah Shalat.”
2)      Berbentuk mudhari’yang didahului lam amar
Misalnya, firman Allah:
وَلْيَطَّوّفُوْابِالْبَيْتِ اْلعَتِيْقِ{الحج:29
Artinya:”…dan hendaklah melakukan thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah).” 
3)      Dan bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradha, kutiba, dan sebagainya.[6]
Imam Ar-Razi berkata di dalam kitabnya Al-Mahsul, bahwa ahli ushul telah sepakat menetapkan bahwa bentuk If’al dipergunakan dalam 15 macam makna sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya
a)      Ijab (wajib)
b)      Nadab (anjuran)
c)      Takdib(adab)
d)     Irsyad (menunjuki)
e)      Ibahah (kebolehan)
f)       Tahdid (ancaman)
g)      Inzhar (peringatan)
h)      Ikram (memuliakan)
i)        Taskhir (penghinaan)
j)        Ta’jiz (melemahkan)
k)      Taswiyah (mempersamakan)
l)        Tamanni (angan-angan)
m)    Doa
n)      Ihanah (meremehkan)
o)      Imtinan[7]

b.      Sighat Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang mutlak. Jika kalimat ini memiliki qarinah, tidak menunjukkan hakikat larangan sseperti firman allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun


3.    Dilalah dan tuntutan amar dan nahi
a.    Dilalah dan tuntutan amar

1)      Menunjukkan wajib,seperti dijelaskan berdasarkan kaidah
اَلأَصْلُ فى الأَمْرِلِلْوُجُوْبِ
Artinya:”Arti yang pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang diperintahkan).”
2)      Menunjukkan anjuran (nadab) berdasarkan kaidah:
اَلأَصْلُ فى الأَمْرِلِ
Artinya; arti yang pokok dalam amar itu adalah menunjukkan anjuran.

Contoh: shalat sunah

b.    Dilalah dan tuntutan nahi
·         Perintah Sesudah Larangan
Setelah memperhatikan segala perintah syara’ yang datang sesudah larangan , ternyata bahwa perintah sesudah larangan itu menunjukkan mubah, terkecuali jika ada nash yang menegaskan kefarduannya.
·         Suruhan Tidak Menghendaki Berkali-Kali Dikerjakan
Suruhan-suruhan syara’ tidak menghendaki supaya orang yang disuruh itu berulang-ulang mengerjakannya dan tidak pula menunjukkan kepadanya agar satu kali saja mengerjakannya. Perintah itu hanya memberi pengertian bahwa perbuatan tersebut harus dikerjakan.
·         Suruhan Tidak Menghendaki Segera Dikerjakan
Suruhan yang dikaitkan dengan waktu agar gugur bila gugur waktunya karena harus dikerjakan dalam waktunya yang dijelaskan dalam bab hukum.







BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Lafadz ‘Am adalah lafadz yang bermakna umum, terhadap semua yang termasuk dalam pengertian lafadz itu dan tidak terbatas pengertiannya. Lafadz Khas adalah lafadz yang menunjukkan arti tertentu, tidak meliputi arti umum.
Lafadz Mutlaq adalah lafadz yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrod didalamnya. Lafadza muqayyad adalah lafadz yang menunjukan arti sebenarnya dengan dibatasi oleh suatu sifat dari batsan tertentu.
Amar adalah “ suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi derajat kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya”, dengan aturan atau tuntunan metodologis yang telah ada. Sedangkan nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.

Daftar Pustaka
Karim Syafi’i, Fiqih-Ushul Fiqih, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2001
Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001








[1] Karim Syafi’i, Fiqih-Ushul Fiqih, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2001, hal. 168-169
[4] Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm., 107
[5] Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, CV Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm., 233
[6] Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Op.Cit, hlm., 108
[7] Ibid, hlm., 109-113

1 comment:

  1. numpang promote ya min ^^
    buat kamu yang lagi bosan dan ingin mengisi waktu luang dengan menambah penghasilan yuk gabung di di situs kami www.fanspoker.com
    kesempatan menang lebih besar yakin ngak nyesel deh ^^,di tunggu ya.
    || WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    ReplyDelete